Madrasah diniyah adalah lembaga pendidikan dasar agama Islam yang memberikan pengajaran yang dilaksanakan secara klasikal. Madrasah diniyah yang berawal dari kebiasaan pesantren, kurikulumnya-pun berbobot pada pendidikan salaf berasal dari kitab-kitab karya tulis ulama terdahulu.
Madrasah diniyah meskipun bobot pendidikannya banyak ke dalam pelajaran kitab kuning, namun memiliki tujuan yang sama seperti pendidikan lain pada umumnya. yaitu menciptakan generasi beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, dan berilmu sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam undang-undang nomor 20/2003 tentang SISDIKNAS.
Bangsa Indonesia sendiri sudah tidak asing dengan madrasah diniyah, pendidikan yang berawal dari pesantren ini memang telah membumi di Indonesia bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI tahun 1945. Sistem pendidikan pesantren telah ada semenjak para walisongo menyebarkan Islam di Indonesia. Pesantren adalah institusi pertama di Nusantara yang mengembangkan madrasah diniyah.
Sejarah dan eksistensi madrasah diniyah
Berawal pada tahun 1915 di Sumatera Barat Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44)
Pada mulanya madrasah diniyah hanya sebatas madrasah yang diisi berupa pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah yang orientasinya adalah pengembangan ilmu-ilmu agama.
Sejalannya waktu banyak lulusan madrasah yang mengalami kendala dalam mencari pekerjaan di bidang-bidang tertentu. Maka untuk membantu permasalahan yang ada, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama pada era Orde Baru saat Menteri Agama dipimpin oleh Ali Mukti menyamakan ijazah madrasah dengan sekolah umum dengan melahirkan SKB 3 menteri pada tahun 1975. Namun konsekuensinya madrasah diniyah mengganti nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah untuk setingkat SD, Madrasah Tsanawiyah setingkat SLTP, dan Madrasah Aliyah untuk setingkat SLTA yang mengajarkan pelajaran umum sekurang-kurangnya 30%. Kemudian pada tahun 1989 lahirlah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 2 tahun 1989 yang disusul Peraturan Pemerintah nomor 27, 28 dan 29 tahun 1990 tentang pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang lebih mengarahkan agar madrasah menyamakan kurikulumnya dengan sekolah umum, yang pada intinya mengurangi porsi pelajaran agama dan memperbanyak pelajaran umum.
Madrasah diniyah yang siap dan mampu beradaptasi dengan undang-undang dan peraturan pemerintah, segera menerapkan kebijakan yang telah diatur pemerintah. Sementara bagi madrasah diniyah yang tidak siap, tetap mempertahankan ciri khasnya, lebih mengentalkan pendidikan agama dan menciptakan suasana islami di madrasah serta menambahkan jam pelajaran agama diluar jam pelajaran pokok.
Melihat kondisi riil dilapangan tidak seperti yang diharapkan, Akhirnya pemerintah mengklasifikasi pendidikan islam menjadi dua peta pendidikan. Pertama, pendidikan umum berciri khas islam. Yakni Jalur pendidikannya formal dan non/informal. Jalur pendidikan formal mulai dari PAUD, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan perguruan tinggi berbentuk RA, MI, MTs, MA dan PTAI. Jalur non/informalnya adalah Wajar Dikdas Salafiyah Ula dan Wustha, Paket A, Paket B, dan Paket C. Kedua, Pendidikan Keagamaan. Jalur pendidikan ini terbagi menjadi pendidikan diniyah dan pendidikan pondok pesantren mengacu kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Pendidikan diniyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pertama, madrasah diniyah independen/murni, madrasah diniyah bentuk ini kebanyakan dilaksanakan di pesantren-pesantren di Jawa Timur dan tertentu, seperti di Pondok Pesantren Langitan dan di Pondok Pesantren Lirboyo. Madrasah ini siswanya tidak mengikuti kegiatan pendidikan di sekolah umum atau di madrasah lain. hanya menempuh pendidikannya di madrasah diniyah. kedua, madrasah diniyah komplemen/wajib bentuk madrasah ini siswanya mengikuti pendidikan di sekolah umum atau di madrasah lain di dalam pesantren akan tetapi wajib mengikuti dan tidak tepisahkan dengan madrasah diniyah, dan ketentuan naik dan lulusnya di sekolah umum dan madrasah lain bergantung pada madrasah diniyah. ketiga, madrasah diniyah suplemen/pelengkap jenis yang terakhir ini yang banyak tumbuh di wilayah Banten. Yaitu madrasah diniyah sebagai sarana pelengkap bagi siswanya dalam menambah pendidikan agama dan keagamaan. jenis madrasah ini adalah tergolong sebagai jenis madrasah nonformal atau informal berjenjang.
Kesimpulan
Berjalannya waktu, madrasah diniyah mulai ditinggalkan oleh masyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Para orang tua dan tokoh masyarakat kurang memperkenalkan pentingnya pendidikan madrasah diniyah yang menjadi fondasi pendidikan agama Islam bagi generasi penerus. Masyarakat perkotaan lebih memilih pendidikan agama yang bisa private di rumah, atau pendidikan TPA/TPQ yang sifatnya tidak menyita waktu banyak atau lebih memilih memperbanyak kegiatan ekstra sekolah yang dianggap lebih bermanfaat untuk mendapatkan nilai tinggi pada saat lulus sekolah. Sehingga menjadi alasan untuk tidak mengikuti pendidikan di madrasah diniyah.
Pandangan atau pemikiran yang terjadi di masyarakat perkotaan saat ini tidak boleh berlarut-larut didiamkan. Pemahaman pentingnya pendidikan di madrasah diniyah harus dikedepankan karena pendidikan di madrasah diniyah bukan hanya sekedar tentang pendidikan baca tulis arab, namun lebih dari itu pendidikan di madrasah diniyah mencakup banyak ilmu pengetahuan yang tidak ditemukan dijalur pendidikan sejenis. Karena itu pula pendidikan di madrasah diniyah adalah fondasi generasi muda menuju masa depan.
Diterbitkan oleh Baraya Post, tgl 12 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar