thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley
  • Jalan-jalan di Borobudur mengenal sejarah bangsa Indonesia masa lalu
  • Banten dan Makasar, sama-sama Hasanudin, bukti bahwa Indonesia satu
  • Menciptakan generasi untuk membangun bangsa, Menciptakan generasi berbudi dan berahlakul karimah
  • Langkah maju untuk generasi, Bersama berprestasi

Kamis, 29 Maret 2012

MASIH PERLUKAH UJIAN NASIONAL?

Oleh : Imat Rohmatulloh


Pertanyaan tersebut banyak terlontar dikalangan dunia pendidikan. Kebijakan Pemerintah tentang Ujian Nasional atau biasa disingkat UN perlu atau tidak perlu, mutlak masih tetap dilaksanakan pada tahun 2012 ini. Karena UN – adalah sebagai pengganti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang telah dihapus. Menteri Pendidikan Nasional yang pada waktu itu dijabat oleh Bambang Sudibyo kepada wartawan dalam jumpa persnya Rabu 19 Januari 2005. menegaskan bahwa UN diperlukan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik pada setiap akhir jenjang pendidikan.
UN pada tahun 2009/2010 menjadi perdebatan hangat dikalangan praktisi pendidikan karena tidak mencakup penilain tiga aspek kemampuan peserta didik. Pada waktu itu penilaian kelulusan dalam UN hanya aspek kognitifnya saja yang dinilai sementara psikomotorik dan afektif peserta didik tidak mendapatkan penilaian. Sehingga sejumlah masyarakat atau warga negara (citizen lawsuit) menggugat Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Dalam persidangan tersebut dimenangkan oleh penggugat dengan keputusan MA yang melarang diselenggarakannya UN melalui surat putusan dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009.

Sejarah Ujian Nasional

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional UN dilakukan dalam pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan.
Adapun Landasan dasar diselenggarakannya UN oleh pemerintah yakni sebagai pemetaan mutu program satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, dan sebagai dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam perkembangannya UN sebagai alat ukur pendidikan mengalami beberapa penyempurnaan dan perubahan;
Pertama : sekitar tahun 1965 hingga tahun 1971 sistem ujian akhir yang diterapkan disebut dengan Ujian Negara, berlaku untuk hampir semua mata pelajaran. Bahkan ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan serempak untuk seluruh wilayah di Indonesia.
Kedua : pada tahun 1972 hingga tahun 1979 diterapkannya sistem Ujian Sekolah. Dengan penerapan ini, setiap sekolah menyelenggarakan ujian akhir masing-masing. Soal dan penilaian hasil ujian semuanya ditentukan oleh masing-masing sekolah. Pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman yang bersifat khusus.
Ketiga : di tahun 1980 hingga tahun 2000 dilaksanakan ujian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Dalam Ebtanas dikembangkan sejumlah perangkat soal yang “parallel” untuk setiap mata pelajaran dan penggandaan soal dilakukan di daerah.
Keempat : tahun 2001 hingga tahun 2004 Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002. Perbedaan yang menonjol antara UAN dengan Ebtanas adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa. Dalam Ebtanas, kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai semester I , nilai semester II, dan nilai Ebtanas murni, sedangkan pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual;
Kelima : sejak tahun 2005 hingga sekarang untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP/ MTs/ SMPLB dan SMA/ SMK/ MA/ SMALB/ SMKLB.
Keenam : pada tahun 2008 hingga sekarang pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.

Penilaian Ujian Nasional

Sebagai agenda tahunan Mendiknas, UN yang telah digulirkan mulai awal Januari 2005 mendapat apresiasi negatif yang terus bermunculan terhadap kebijakan pemerintah ini. Salah satu contoh ketika pemerintah menawarkan standar nilai kelulusan minimum yang setiap tahun terus mengalami peningkatan, banyak pihak pengelola pendidikan dan para peserta didik merasa diberatkan. Hal ini lantaran setiap daerah memiliki kemampuan dan potensi yang berbeda-beda dalam mengelola pendidikan, terutama disebabkan faktor SDM dan sarana pendidikan.
Pemerintah memang tidak bergeming dan tetap melaksanakan UN. namun, Pemerintah tidak menutup mata dengan berbagai bentuk keberatan yang ada. Untuk menyahuti berbagai keberatan, pada tahun 2011 pelaksanaan UN sempat mengalami sedikit kemajuan dan berbeda penilaian dibanding tahun sebelumnya. Pada syarat kelulusan Ujian Nasional yang sebelumnya hanya ditentukan oleh hasil akhir perolehan peserta didik di lembaran LJK-UN. Namun, kini sudah menggunakan sistem penilaian terpadu, yaitu nilai ujian akhir sekolah/madrasah (UAS/UAM) serta nilai rapot semesteran siswa ikut menjadi penentu kelulusan peserta didik.

Permasalahan dalam Ujian Nasional

Dalam setiap kebijakan yang diputuskan tentu tak lepas dari dampak atau akibat kebijakan tersebut, baik berdampak positif maupun berdampak negatif. Begitupun halnya dengan kebijakan pemerintah dalam melaksanakan Ujian Nasional, setiap penyelenggaraannya tak lepas dari berbagai masalah yang bermunculan di sana-sini.
Masalah yang timbul setelah pemerintah menetapkan kebijakan untuk tetap melaksanakan UN sebagai syarat kelulusan peserta didik, antara lain ;
1.Kurangnya SDM yang handal dan mampu menjawab tantangan pemerintah atau hilangnya kepercayaan diri sekolah kepada kemampuan guru dalam mendidik peserta didiknya. ini dibuktikan dengan banyaknya sekolah tidak menyikapi UN secara proporsional namun sebaliknya melakukan tindakan berlebih. UN dianggap sebagai halangan terbesar peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi akhirnya sekolah beramai-ramai melaksanakan istigasah atau kebaktian. Bila tujuannya untuk memberikan rasa kepercayaan diri dan memohon hidayah dari Yang Maha Kuasa, tentu sah-sah saja. Namun nyatanya banyak sekolah melaksanakan kegiatan tersebut sebagai ceremonial.
2.Kurangnya rasa kepercayaan diri sekolah kepada para peserta didiknya. Ini dibuktikan banyaknya kasus pembocoran soal yang diberitakan di tv dan media massa lainnya. Guru atau sekolah seharusnya percaya penuh kepada peserta didiknya mampu menjawab soal-soal yang di UN-kan, karena selama tiga tahun dalam bimbingan tentunya siswa sudah mendapati banyak pengetahuan yang difahami untuk menjawab soal UN.
3.Pengawasan yang ketat dari berbagai pihak, baik kepolisian RI atau PTN tentu sah-sah saja, sebatas tidak mengganggu kenyamanan peserta didik. Namun kenyataan dilapangan pengawasan ketat dengan penjagaan pihak kepolisian menjadi hal yang sangat menakutkan bagi peserta didik. Untuk para peserta didik, ini membuat rasa kepercayaan diri turun dan berakibat depresi.
4.Masalah yang sangat vital adalah masalah soal-soal yang diujikan. Soal yang diujikan ditilik dari bobot materi yang selama ini diujikan tidak merespon kemampuan daerah dan kemampuan sekolah. Di daerah tertinggal misalnya dimana guru dan sarana pendidikannya terbatas, tentu kemampuan peserta didiknya-pun terbatas tidak bisa disamakan dengan kondisi peserta didik di kota dimana sarana dan SDM-nya tercukupi. Tentunya bila UN tetap akan terus dilaksanakan, pemerintah harus membenahi sarana dan prasarana pendidikan yang ada di daerah, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta (sekolah yang dikelola masyarakat).

Akhirnya apapun pendapat masyarakat dan kontroversi-nya tentang kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan UN tidaklah mendasar. Karena untuk jawaban tersebut tentu pemerintah berpegangan kepada Undang-Undang. Namun yang perlu digarisbawahi dalam kebijakan tersebut terdapat beberapa permasalahan. Maka, kewajiban stakeholder pendidikan untuk segera memecahkan permasalah yang ada dalam UN. Jangan sampai pelaksanaan UN yang niatnya positif sebagai bentuk akuntabilitas pendidikan dapat berakibat negatif dan merugikan semua pihak, khususnya peserta didik.

Diterbitkan Banten Raya Post
Kamis, 29 Maret 2012

Tidak ada komentar: