thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley thankyousmiley
  • Jalan-jalan di Borobudur mengenal sejarah bangsa Indonesia masa lalu
  • Banten dan Makasar, sama-sama Hasanudin, bukti bahwa Indonesia satu
  • Menciptakan generasi untuk membangun bangsa, Menciptakan generasi berbudi dan berahlakul karimah
  • Langkah maju untuk generasi, Bersama berprestasi

Senin, 07 Mei 2012

Ibrahim Hosen Santri Bany Lathif Cibeber

Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML. adalah seorang ulama kharismatik dan pendiri Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta, yang juga pernah menjabat sebagai penasehat menteri Agama Alamsyah Ratu Prawira Negara dan Ketua Dewan Fatwa MUI.
Sebagai tokoh yang sangat disegani dengan berbagai pandangannya yang sangat kontroversial beliau selalu segan dan mengingat jasa guru-guru beliau, salah seorang guru beliau adalah KH. Abdul Latief Cibeber.
Ibrahim Hosen dilahirkan di Tanjung Agung, pada tanggal 1 Januari 1917. ayahnya bernama KH. Hosen, seorang ulama dan saudagar besar keturunan Bugis. Sedangkan ibunya bernama Siti Zawiyah, seorang anak bangsawan dari keluarga ningrat.
Secara formal, Ibrahim Hosen mulai pendidikannya pada Madrasah al-Sagaf, tingkat ibtidaiyah di Singapura. Kemudian melanjutkan pendidikan di Mu’awanatul Khaer Arabische School (MAS) di Tanjung Karang yang didirikan orang tuanya. Pada tahun 1932, dia melanjutkan sekolahnya di Teluk Betung. Di luar waktu sekolah, Ibrahim Hosen menggunakan kesempatan untuk belajar agama dan bahasa Arab kepada Kyai Nawawi, seorang ulama’ besar yang pernah belajar ke Makkah dan menjadi guru di Makkah selama kurang lebih 12 tahun. Dan dari kyai Nawawi Ibrahim Hosen memperoleh penguasaan ilmu-ilmu agama, terutama bahasa arab dan Fikih.
Pada tahun 1934, Ibrahim Hosain menapakkan kakinya di pulau jawa. Tempat yang pertama kali menjadi persinggahannya adalah Pesantren yang diasuh oleh KH. Abdul latief di Cibeber, Cilegon di kawasan Banten. Kemudian ia melanjutkan pengembaraannya menuju Jameat al-Khaer, Tanah Abang untuk belajar kepada Sayyid Ahmad al-Segaf, seorang ulama’ yang sangat pandai dalam ilmu bahasa dan sastra Arab. Pada tahun yang sama, Ibrahim meneruskan ke Pesantren Lontar, Serang Banten yang diasuh oleh KH. TB. Soleh Makmun (di Arab dikenal dengan Syeh Makmun al-Khusairi) yang ahli dalam bidang Qira’at dan Tilawah al-Qur’an. Kemudian, Ibrahim pergi ke Buntet untuk berguru kepada ulama besar, yaitu KH. Abbas, seorang murid KH. Hasyim Asy’ari pendiri NU. Dengan Kyai Abbas, walaupun hanya sebentar, yaitu 4 bulan, Ibrahim sudah dianggap cukup. Sehingga disarankan untuk untuk melanjutkan belajarnya di Solo atau ke Gunung Puyuh, Sukabumi. Ketika berpamitan untuk pulang hendak pulang, Ibrahim diberi 2 (dua) mangga Harumanis dan sebuah sajadah Kurdi dari Wol. Entah apa maksud dibalik itu. Tapi, Ibrahim menyimpulkan, bahwa mangga adalah lambang pergaulan dengan rakyat, sedangkan sajadah adalah simbol untuk terus-menerus berbakti kepada Allah Swt. Dalam kesempatan itu pula KH. Abbas berpesan kepada Ibrahim Hosen; “Fikih itu luas. Jangan hanya terpaku pada satu mazhab.
Setelah itu, Ibrahim pergi ke Solo untuk menemui Sayyid Ahmad al-Segaf untuk memperdalam bahasa Arab dan Muhsin al-Segaf (kakak Ahmad al-Segaf) memperdalam fikih. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Gunung Puyuh, Sukabumi yang dipimpin oleh KH. Sanusi. Dalam asuhan KH. Sanusi, Ibrahim mempelajari kitab al-Um, Balaghah, dan lain-lain selama 5 bulan. Hal ini dilakukan oleh Ibrahim Hosen karena ketaatannya kepada KH. Abbas.
Demikianlah sekelumit Sejarah Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML. Semoga amal ibadah beliau diterima disisi Allah SWT. dan kepada guru-guru beliau semoga ilmu yang telah disampaikan menjadi manfaat hingga Kiamat. Amin.

Tidak ada komentar: